WAKTU ANTARA KAU DAN AKU
Mozaik Kehidupan Ala 108
Suasana hening dan gelap. Samar-samar temaram lampu memberi terang. Kemudian terlihat gunungan besar bergambar Semar dan Togog menancap di tengah panggung. Sedang di kanan-kirinya berjajar empat pemain yang dibalut kostum ketat sewarna kulit berpose bak wayang kulit. Suara mantra keluar dari mulut seorang pemain yang sedari awal berada di depan gunungan, kemudian dia menggerakkan gunungan tersebut laiknya sang dalang membuka sebuah pertunjukan wayang. Suara gemuruh gunungan dari seng memecah keheningan menandai jagad pewayangan telah dibuka dan dimulai.
Tidak berapa lama dua pemain laki-laki dan perempuan muncul dari balik gunungan dengan gerak teatrikal yang ritmis dan dinamis bak dua orang yang sedang dimabuk asmara. Berkejaran, merayu, memadu kasih, serta memintal asmara di taman kahyangan. Empat pemain yang sebelumnya berjajar mulai bergerak mengelilinginya. Suara riuh-gemuruh keluar dari mulut mereka mengiringi “persenggamaan” dua sejoli tersebut.
Persenggamaan yang tidak semestinya menyebabkan kelahiran yang salah. Empat orang pemain menari dengan memadukan gerak breakdance dan silat. Gerakan liar dari para pemain menyerupai gumpalan daging yang terus bergerak. Lamat-lamat terdengar Sri (Rika Puspasari) melantunkan kidung, “Singgah-singgah. Kulo singgah, tan suminggah. Durgokolo sumingkiro”. Sebuah kidung tolakbala yang biasa dilantunkan oleh masyarakat Jawa untuk mengusir demit dan danyang agar tidak mengganggu anak-anaknya.
Sri, sebagai sosok ibu dan perempuan Jawa dididik untuk sabar dan ngopeni. Begitu juga ketika memomong anak-anaknya Sri melandasi seluruh tindakannya dengan rasa asah, asih, dan asuh. Dan dia mendidik anak-anaknya sesuai dengan tradisinya. Tari- tarian tradisional dan etika Jawa diajarkan kepada anak-anak yang baru saja dia lahirkan. Dengan gerakan yang terbata anak-anak mengikutinya, namun itu hanya sebentar. Selanjutnya mereka lebih suka dengan gerakan yang tidak terarah dan penuh canda. Sri tahu zaman telah berubah sesuai ruh waktu yang membentuknya. Gunungan yang semula bergambar Semar dan Togog berganti dengan gambar kartun Sinchan dan Dora yang menandakan perubahan zaman. Suasana yang semula kental dengan warna tradisi tiba-tiba berubah dengan hingar bingar suasana dugem dan potongan-potongan tayangan televisi yang tidak asing bagi penonton. Cuplikan telenovela, berita kriminal, infotainment, iklan, ajang pencarian bakat, hingga permainan sepakbola disuguhkan secara satire.
Suasana “cerewet” yang tampak sebelumnya, berubah mencekam ketika suara “bunuh! Bakar!” keluar dari mulut para pemain. Satu per satu para pemain terlilit oleh pita kaset yang kusut. Suasana terlihat bertambah kacau saat angka-angka menghujani panggung lewat proyeksi LCD proyektor. Para pemain seakan menemukan permasalahan-permasalah sosial dari gulungan pita kaset kusut. Kata-kata ekstasi, korupsi, kolusi, nepotisme, illegal loging, aborsi, sek bebas, konsumerisme, kapal tenggelam, pesawat hilang, hingga lumpur lapindo muncrat dari mulut pemain.
Itulah bagian dari pementasan “Waktu Antara Kau Dan Aku” (disingkat menjadi WaKdA) oleh Kelompok SatuKosongDelapan (108) Denpasar di gedung The Oriental Kuta, Bali. Naskah ditulis serta disutradarai oleh Giri Ratomo, mantan ketua Teater Orok Universitas Udayana sekaligus pendiri Kelompok 108.
Malam itu (21/1) pementasan perdananya dimainkan oleh Rika Puspitasari, Moch Satrio Welang, Andika Ananda, Didit Dudu, Niko Wijanarko dan Haris Lawera disaksikan oleh 300-an penonton. Proyek produksi ke tujuh Kelompok 108 ini direncanakan akan dipentaskan di Solo dan Jogja pada Maret tahun ini.
Pertunjukan Semi –Teater Tari?
Alur cerita WaKdA terdiri lima bagian yang terjalin menjadi satu kesatuan laiknya rentetan kehidupan manusia dan alam semesta; dari tidak ada menjadi ada dan sebaliknya. Bermula dari Genesis (penciptaan alam semesta), Sri yang menjadi simbol bumi yang terkoyak dan dianiaya, kelahiran yang tidak sempurna, individu-individu sebagai gambaran anak-anak yang dibesarkan oleh televisi, hingga zaman plastik yang dimaksudkan sebagai karmaphala.
Pertunjukan yang berlangsung sekitar satu setengah jam tersebut banyak menyuguhkan gerak tubuh yang terinspirasi dari tari tradisi Jawa yang dipadukan dengan breakdance, modern dance dan silat. Kesan harmonis kian terasa dengan alunan musik yang diolah secara manis, meskipun dengan setting panggung yang minimalis.
Yang menarik, penyajian Waktu antara Kau dan Aku mengadopsi unsur pemanggungan wayang kulit, di mana pemain tetap berada di atas panggung sedari awal hingga akhir pementasan. Laiknya wayang, para pemain berjejer sebelum mereka memainkan tokoh yang mereka perankan dan masuk ke balik gunungan saat peran usai mereka mainkan.
Pada tiga bagian awal pertunjukan – Genesis, Sri dan Kelahiran – suasana tradisi masih terlihat sangat kental, baik gerak tari, musik maupun artistik. Sangat bertolak belakang dengan dua bagian akhir pertunjukan yakni bagian individu-individu generasi televisi dan zaman plastik. Penggunaan video art sebagai penguatan artistik yang menegaskan “kekinian” di zaman plastik yang serba palsu, pura-pura dan hedon, ditambah musik live midi, semakin membuat garis jarak “waktu” antara masa lalu dan masa kini.
Bahkan, barangkali Giri Ratomo menangkap keadaan sekarang dan masa depan saat angka-angka menggeser fungsi nama juga identitas orang-orang, sehingga nama-nama tokoh dalam WaKdA digantikan dengan angka-angka. Tidak dipungkiri bila di jaman teknologi seperti sekarang, angka-angka menjadi dominan peranannya. Orang-orang lebih cepat akrab saat saling hapal nomor handphone, untuk menarik rekening tabungan cukup memencet beberapa nomor kode rahasia, harga-harga barang di supermarket ditengarai dengan susunan angka-angka, bahkan kode-kode rahasia di pangkalan militer terdiri dari susunan angka-angka.
Namun sayang ada beberapa adegan yang cukup mengganjal. Misalnya pada adegan tokoh 621 (Niko) yang merepresentasikan budaya tradisional yang “diperkosa” oleh tokoh 69 (Andika) yang kebingungan akan jatidirinya. Menurut saya sebenarnya dengan gerak-tari saja sudah cukup terwakili, tanpa harus mengeluarkan kata-kata seperti orang yang sedang bercinta. Terlalu vulgar. Seolah Giri Ratomo takut penonton tidak mengerti dengan gerak-tari tersebut. Padahal Kelompok 108 nyata-nyata telah mengungkapkan bahwa pementasan ini adalah dance theatre show.
Terlebih pada adegan tayangan-tayangan televisi, kesan teater tari malah tidak ada. Mereka terlalu banyak memparodikannya dengan bahasa verbal. Dan pemain pun terkesan hanyut dan “bergenit-genit” dengan tingkah yang berlebihan setelah mendapat respon (tawa) dari para penonton. Mungkin karena kecewa dengan bahasa serta adegan (lokal) yang tidak dimengerti, beberapa penonton asing (bule) keluar dari gedung pertunjukan saat adegan parodi yang banyak mengumbar bahasa verbal – bahasa yang tidak universal – tengah berlangsung. Bahkan beberapa cuplikan televisi dengan gaya “bercanda Denpasar” saya kira juga tidak cukup meng-Indonesia dan semestinya dibenahi bila hendak ditampilkan di Solo dan Jogja.
Bagaimana pun juga semuanya dikembalikan lagi kepada sang sutradara yang tentunya telah memperhitungkan setiap detailnya untuk menghasilkan sebuah pertunjukan yang “menarik”.
Tidak berapa lama dua pemain laki-laki dan perempuan muncul dari balik gunungan dengan gerak teatrikal yang ritmis dan dinamis bak dua orang yang sedang dimabuk asmara. Berkejaran, merayu, memadu kasih, serta memintal asmara di taman kahyangan. Empat pemain yang sebelumnya berjajar mulai bergerak mengelilinginya. Suara riuh-gemuruh keluar dari mulut mereka mengiringi “persenggamaan” dua sejoli tersebut.
Persenggamaan yang tidak semestinya menyebabkan kelahiran yang salah. Empat orang pemain menari dengan memadukan gerak breakdance dan silat. Gerakan liar dari para pemain menyerupai gumpalan daging yang terus bergerak. Lamat-lamat terdengar Sri (Rika Puspasari) melantunkan kidung, “Singgah-singgah. Kulo singgah, tan suminggah. Durgokolo sumingkiro”. Sebuah kidung tolakbala yang biasa dilantunkan oleh masyarakat Jawa untuk mengusir demit dan danyang agar tidak mengganggu anak-anaknya.
Sri, sebagai sosok ibu dan perempuan Jawa dididik untuk sabar dan ngopeni. Begitu juga ketika memomong anak-anaknya Sri melandasi seluruh tindakannya dengan rasa asah, asih, dan asuh. Dan dia mendidik anak-anaknya sesuai dengan tradisinya. Tari- tarian tradisional dan etika Jawa diajarkan kepada anak-anak yang baru saja dia lahirkan. Dengan gerakan yang terbata anak-anak mengikutinya, namun itu hanya sebentar. Selanjutnya mereka lebih suka dengan gerakan yang tidak terarah dan penuh canda. Sri tahu zaman telah berubah sesuai ruh waktu yang membentuknya. Gunungan yang semula bergambar Semar dan Togog berganti dengan gambar kartun Sinchan dan Dora yang menandakan perubahan zaman. Suasana yang semula kental dengan warna tradisi tiba-tiba berubah dengan hingar bingar suasana dugem dan potongan-potongan tayangan televisi yang tidak asing bagi penonton. Cuplikan telenovela, berita kriminal, infotainment, iklan, ajang pencarian bakat, hingga permainan sepakbola disuguhkan secara satire.
Suasana “cerewet” yang tampak sebelumnya, berubah mencekam ketika suara “bunuh! Bakar!” keluar dari mulut para pemain. Satu per satu para pemain terlilit oleh pita kaset yang kusut. Suasana terlihat bertambah kacau saat angka-angka menghujani panggung lewat proyeksi LCD proyektor. Para pemain seakan menemukan permasalahan-permasalah sosial dari gulungan pita kaset kusut. Kata-kata ekstasi, korupsi, kolusi, nepotisme, illegal loging, aborsi, sek bebas, konsumerisme, kapal tenggelam, pesawat hilang, hingga lumpur lapindo muncrat dari mulut pemain.
Itulah bagian dari pementasan “Waktu Antara Kau Dan Aku” (disingkat menjadi WaKdA) oleh Kelompok SatuKosongDelapan (108) Denpasar di gedung The Oriental Kuta, Bali. Naskah ditulis serta disutradarai oleh Giri Ratomo, mantan ketua Teater Orok Universitas Udayana sekaligus pendiri Kelompok 108.
Malam itu (21/1) pementasan perdananya dimainkan oleh Rika Puspitasari, Moch Satrio Welang, Andika Ananda, Didit Dudu, Niko Wijanarko dan Haris Lawera disaksikan oleh 300-an penonton. Proyek produksi ke tujuh Kelompok 108 ini direncanakan akan dipentaskan di Solo dan Jogja pada Maret tahun ini.
Pertunjukan Semi –Teater Tari?
Alur cerita WaKdA terdiri lima bagian yang terjalin menjadi satu kesatuan laiknya rentetan kehidupan manusia dan alam semesta; dari tidak ada menjadi ada dan sebaliknya. Bermula dari Genesis (penciptaan alam semesta), Sri yang menjadi simbol bumi yang terkoyak dan dianiaya, kelahiran yang tidak sempurna, individu-individu sebagai gambaran anak-anak yang dibesarkan oleh televisi, hingga zaman plastik yang dimaksudkan sebagai karmaphala.
Pertunjukan yang berlangsung sekitar satu setengah jam tersebut banyak menyuguhkan gerak tubuh yang terinspirasi dari tari tradisi Jawa yang dipadukan dengan breakdance, modern dance dan silat. Kesan harmonis kian terasa dengan alunan musik yang diolah secara manis, meskipun dengan setting panggung yang minimalis.
Yang menarik, penyajian Waktu antara Kau dan Aku mengadopsi unsur pemanggungan wayang kulit, di mana pemain tetap berada di atas panggung sedari awal hingga akhir pementasan. Laiknya wayang, para pemain berjejer sebelum mereka memainkan tokoh yang mereka perankan dan masuk ke balik gunungan saat peran usai mereka mainkan.
Pada tiga bagian awal pertunjukan – Genesis, Sri dan Kelahiran – suasana tradisi masih terlihat sangat kental, baik gerak tari, musik maupun artistik. Sangat bertolak belakang dengan dua bagian akhir pertunjukan yakni bagian individu-individu generasi televisi dan zaman plastik. Penggunaan video art sebagai penguatan artistik yang menegaskan “kekinian” di zaman plastik yang serba palsu, pura-pura dan hedon, ditambah musik live midi, semakin membuat garis jarak “waktu” antara masa lalu dan masa kini.
Bahkan, barangkali Giri Ratomo menangkap keadaan sekarang dan masa depan saat angka-angka menggeser fungsi nama juga identitas orang-orang, sehingga nama-nama tokoh dalam WaKdA digantikan dengan angka-angka. Tidak dipungkiri bila di jaman teknologi seperti sekarang, angka-angka menjadi dominan peranannya. Orang-orang lebih cepat akrab saat saling hapal nomor handphone, untuk menarik rekening tabungan cukup memencet beberapa nomor kode rahasia, harga-harga barang di supermarket ditengarai dengan susunan angka-angka, bahkan kode-kode rahasia di pangkalan militer terdiri dari susunan angka-angka.
Namun sayang ada beberapa adegan yang cukup mengganjal. Misalnya pada adegan tokoh 621 (Niko) yang merepresentasikan budaya tradisional yang “diperkosa” oleh tokoh 69 (Andika) yang kebingungan akan jatidirinya. Menurut saya sebenarnya dengan gerak-tari saja sudah cukup terwakili, tanpa harus mengeluarkan kata-kata seperti orang yang sedang bercinta. Terlalu vulgar. Seolah Giri Ratomo takut penonton tidak mengerti dengan gerak-tari tersebut. Padahal Kelompok 108 nyata-nyata telah mengungkapkan bahwa pementasan ini adalah dance theatre show.
Terlebih pada adegan tayangan-tayangan televisi, kesan teater tari malah tidak ada. Mereka terlalu banyak memparodikannya dengan bahasa verbal. Dan pemain pun terkesan hanyut dan “bergenit-genit” dengan tingkah yang berlebihan setelah mendapat respon (tawa) dari para penonton. Mungkin karena kecewa dengan bahasa serta adegan (lokal) yang tidak dimengerti, beberapa penonton asing (bule) keluar dari gedung pertunjukan saat adegan parodi yang banyak mengumbar bahasa verbal – bahasa yang tidak universal – tengah berlangsung. Bahkan beberapa cuplikan televisi dengan gaya “bercanda Denpasar” saya kira juga tidak cukup meng-Indonesia dan semestinya dibenahi bila hendak ditampilkan di Solo dan Jogja.
Bagaimana pun juga semuanya dikembalikan lagi kepada sang sutradara yang tentunya telah memperhitungkan setiap detailnya untuk menghasilkan sebuah pertunjukan yang “menarik”.
Jauhar Mubarok, Pemerhati Teater Modern Tinggal di Denpasar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar