Jumat, 09 Januari 2009

sritanjung oh sritanjung…

hari-hari ini sangat sibuk yak,, setiap hari latian sritanjung,, yah tapi seneng juga karena sritanjungkan merupakan cerita tentang asal mula tanah kelahiranku, heheeh. Ya emang garapan tari kali ini sangat rumit, apalagi musiknya… uh parah deh.. mampusdah para pemusik tuk ngapalin notase.. heheheh.. semangat kawan.... muga aja proses kali ini lancaaar…
di sela-sela garapan sritanjung, aku juga harus mempersiapkan proses pementasan teater 108. kali ini kita memilih lakon “prabu maha anu” robert pinget… ceritanya sangat menarik, dan lutcyu. Muga aja actor-aktorku bisa menyerap ide-ideku… (ayo semangat dyas,empol dan yogy,, kamu bisaaa). semangat semangat.

BACA SELANJUTNYA »»

Pementasan Drama Tari Sri Tanjung


(cerita sritanjung adalah asal mula kota banyuwangi, kota kelahiranku,, hehehe)
Mulanya adalah sebuah keprihatinan Kadek Suardana terhadap miskinnya inovasi pada seni pertunjukan di Bali. Kegalauan tersebut lalu bergulir dalam diskusi demi diskusi antara lain dengan A.A.N. Puspayoga, seorang pecinta seni pertunjukan Bali asal Puri Satria – Denpasar, maka lahirlah drama-tari bertajuk “Sri Tanjung – The Scent of Innocence” ini.

Di bawah pimpinan Kadek Suardana, cerita Sri Tanjung dihidupkan kembali lewat sebuah proses kreatif yang sangat intens. Proses penggarapan diawali dengan penelitian, interpretasi naratif, penulisan skrip, lalu penggarapan komposisi musik dan tembang. Semua itu dimaksudkan untuk membuat padu-padan yang harmonis yang menjembatani masa lalu dengan masa kini.

Dalam garapan ini seniman dari berbagai generasi dan berbagai bidang seni pertunjukan bergabung untuk melakukan eksplorasi dan persilangan idiom-idiom tradisi. Hasilnya: sebuah pertunjukan yang memancarkan ekpresi artistik bernuansa kontemporer yang menyatu secara estetis. Sebuah karya alternatif yang merevitalisasi kesenian tradisi dan mudah diapresiasi oleh masyarakat luas.

Sepintas Tentang Cerita Sri Tanjung

Cerita Sri Tanjung adalah karya sastra yang ditulis di Banyuwangi pada abad ke 17. Saat itu Banyuwangi masih bagian dari kerajaan Blambangan, kerajaan terakhir di Jawa Timur. Ahli literatur Jawa asal Belanda, Dr. Theodoor Gautier Thomas Pigeaud, menempatkan cerita ini dalam kelompok karya-karya sastra yang diberi judul ‘Original Old Javanese and Javanese-Balinese exorcist tales and related literature in a bellestric form’. Yang dimaksud ‘Javanese-Balinese’ oleh Pigeaud adalah karya-karya sastra yang mengunakan bahasa jawa-tengahan, yang sumbernya berada pada kegiatan sastra di kerajaan Jawa Timur sampai Majapahit, dan kemudian berkembang di Bali (dan wilayah kekuasaan lainnya) semasa Watu Renggong memimpin kerajaannya di Gelgel. Karya ini satu kelompok dengan karya sastra macam Calon Arang, Sudamala, Wargasari, Nawa Ruci, Subrata, dan Sang Satyawan.

Cerita Sri Tanjung diperkirakan telah lahir di Jawa Timur sekitar awal abad ke 13, dan kemudian ditransmisi secara lisan. Dalam proses itu, cerita ini terintegrasasi ke dalam kebudayaan Hindu-Jawa dengan menempatkan beberapa tokoh utama dari cerita ini sebagai keturunan dari Nakula dan Sahadewa. Misalnya pada relief di Batur Pendopo Candi Panataran-Blitar, di luar Sri Tanjung digambarkan pula tokoh bernama Sang Setyawan. Demikian pula pada Batur Candi Surawana, Para-Kediri, terdapat tokoh bernama Bubuk Sah-Gagang Aking. Dalam relief-relief tersebut terbabar kisah yang intinya mengenai pencarian kesempurnaan hidup.

Satu hal penting dalam kisah Sri Tanjung, terdapat unsur ruwatan yang dalam bahasa Bali dikenal dengan panglukatan atau panyupatan atau pabayuhan, yaitu sebuah ritual yang diselenggarakan untuk melebur hal-hal negatif dalam diri sehingga diri ini menjadi lebih kuat dan suci. Unsur panglukatan ini juga menjadi tema utama di beberapa tempat pemujaan lain seperti Candi Tigowangi (1358) di Plemahan, Kediri; Candi Sukuh (1439), serta Candi Ceto di gunung Lawu, Jawa Tengah. Pada ketiga candi tersebut terdapat relief-relief cerita Sudamala, yaitu sebuah cerita yang memiliki hubungan erat dengan cerita Sri Tanjung, yang hingga sekarang masih diusung oleh masyarkat Bali saat pelaksanaan upacara panglukatan.
Zaman sekarang, cerita Sri Tanjung masih hidup di tengah masyarakat di sekitar Banyuwangi sebagai sebuah dogeng yang menceritakan asal muasal nama ‘Banyuwangi’, yang berarti sungai yang harum.

Di Bali, cerita Sri Tanjung pernah populer sebagai lakon dalam drama-tari Arja pada masa kejayaannya sekitar tahun 1970-an. Pada tahun 1980-an pun, di beberapa daerah di Bali, cerita ini masih banyak diangkat sebagai lakon pewayangan untuk upacara panglukatan.
Sekarang, cerita ini sudah hampir terlupakan oleh masyarakat Bali. Bahkan, ada selentingan bahwa di sebuah desa di Bali, kisah Sri Tanjung ini dilarang untuk diceritakan. Entah apa alasannya. Yang pasti, kita hanya bisa berimajinasi tentang kekuatan yang tertkandung dalam cerita ini….

Sinopsis Pementasan Sri Tanjung

Ini adalah kisah seorang perempuan bernama Sri Tanjung yang diambil dari Kidung Sri Tanjung. Kisah ini menggambarkan percintaan yang hangat dan mesra antara Sri Tanjung dan Sida Paksa, patih kerajaan Sinduraja yang tampan dan perkasa. Namun, karena hasutan Prabu Sulakrama, raja Sinduraja, Sida Paksa menjadi hilang kesadaran dan buta terhadap realitas kehidupan. Laki-laki perkasa itu tunduk dan patuh pada titah sang raja hingga tega membunuh Sri Tanjung, istri tercintanya.

Sebuah keajaiban terjadi saat keris Sida Paksa menghujam tubuh Sri Tanjung. Darah yang membuncah dari luka Sri Tanjung menebarkan bau harum semerbak, pertanda bahwa dirinya tak bersalah. Namun apa daya, ibarat nasi telah menjadi bubur, Sida Paksa tak sanggup menarik kembali apa yang telah diperbuatnya terhadap Sri Tanjung. Hanya penyesalan yang menggelora di relung jiwanya. Beruntung Dewi Durga jatuh iba pada Sri Tanjung yang berhati bersih itu. Sang Dewi menghidupkan perempuan itu kembali…

Drama-tari Sri Tanjung: The Scent of Innocence mengambarkan nasib tiga tokoh di atas dalam sebuah drama berbahasa kawi dipadukan dengan komposisi tari dan tembang - tembang Bali yang dieksplorasi sesuai dengan karakter masing-masing adegan. Di dalam drama tari ini ditampilkan juga beberapa bait nukilan karya-karya sastra dalam bahasa jawa-tengahan seperti Kidung Kaki Tua dan Kidung Jayendria. Kidung-kidung tersebut dikemas khusus untuk mengillustrasikan suasana hati para tokoh dalam cerita ini. Pada puncak pertunjukan, penonton akan menyaksikan Sri Tanjung, yang diberi anugerah alam oleh Dewi Durga, menghapus dosa suaminya dan memberi kekuatan untuk menjatuhkan Prabu Sulakrama, yang dalam pertunjukan adalah simbol kekuata yang menentang hukum alam.

Jadwal Pementasan Sri Tanjung

Sebagai pementasan pembuka, drama-tari ini akan digelar di dua kota yakni:
Denpasar
Gedung Ksirarnawa, Taman Werdhi Budaya
27 - 28 Februari 2009

Jakarta
Gedung Kesenian Jakarta
Jalan Gedung Kesenian No1.
Pasar Baru, Jakarta Pusat
6-7 Maret 2009


info selengkapnya ada di:
http://sritanjungarti.blogspot.com/
www.artifoundation.org

BACA SELANJUTNYA »»