Sabtu, 23 Februari 2008

lomba menggambar umbul-umbul


tanggal 25 februari aku menjadi panitia lomba menggambar umbul-umbul dilapangan puputan badung
pesertanya anak-anak sekolah didenpasar.... wah pasti rame,,,
udah ada 50 peserta yang terdaftar,,, semuga gak nambah lagi..
semuga aja acaranya sukses.
tadi saya membeli cat buanyak sekali.... menggambar ayo kita menggambar..... menggambar umbul-umbul bunga jempiring...

tuhan emang maha iseng
kemarin juma't 22 februari saya mendapatkan hadiah ...... sovenir.... cantik sekali....
dan yang memberi paketan orang yang lebih iseng dari tuhan....
.......................


BACA SELANJUTNYA »»

Selasa, 19 Februari 2008

mancing

salam
kemarin saya ikut lomba mancing di akame.... dan hanya mendapatkan ikan bandeng 2 ekor sadja..
sedih sedih sedih..... uang pendaftaranya sangat mahal Rp 250.000
tapi sedih itu terobati setelah saya mancing lagi dan mendapatkan ikan muduk dan kerung buanyak sekali,,, lalu ikan2 ikan itu saya masak dirumahnya bli kadek di patimura.... senang rasanya ikan-ikan hasil pancingan saya bisa dimakan banyak orang bersanding dengan dua kotak piza dan juga cola.... senang senang....
terlebih malam itu, malam perpisahan dengan tomomi yokosuka, yang mau ke jogja..... SELAMAT JALAN...SELAMAT JALAN

tadi pagi saya kebukit... terus kenusa dua.... kangen dengan suasana lampau..... (sosok ampikunanti)

BACA SELANJUTNYA »»

Sabtu, 02 Februari 2008

barong landung


Barong Landung

Barong Landung adalah satu wujud susuhunan yg berwujud manusia tinggi mencapai 3 meter. Barong Landung tidak sama dengan barong ket yg sudah dikomersialisasikan. Barong Landung lebih sakral dan diyakini kekuatannya sebagai pelindung dan pemberi kesejahteraan umat. Barong Landung banyak dijumpai disekitar Bali Selatan, spt Badung, Denpasar, Gianyar, Tabanan.

Story of Barong Landung dimulai saat abad VI dimana Raja Bali saat itu adalah Sri Jaya Kesunu yg memiliki seorang istri dan anak Mayadenawa. Raja Jaya Kesunu memiliki beberapa orang penasehat kerajaan diantaranya adalah Empu Liem sbg penasehat spiritual dan satu lagi orang chinese sebagai penasehat ekonomi. Satu hari, permaisuri wafat yg mengakibatkan Jaya Kesunu sangat sedih hatinya. Beliau murung terus dan kerajaan jadi terbengkalai. Akhirnya Mayadenawa dinobatkan sebagai Raja Bali menggantikan ayahnya Jaya Kesunu. Untuk menghilangkan kesedihan Jaya Kesunu, penasehat kemudian benisiatif menjodohkan salah seorang putri saudagar cina bernama Kang Che We sbg istri kedua Jaya Kesunu. Melihat kecantikan Kang Che We, Jaya Kesunu pun jatuh hati dan menikahinya. Sejak itu Jaya Kesunu kembali terlihat gembira dan ceria. Tapi apa lacur, keinginan Jaya Kesunu utk mendapat anak dari Kang Che We tidak terkabul karena sang putri Kang mandul.

Karena cintanya pada Putri Kang, Jaya Kesunu memerintahkan Empu Liem membuat satu tarian sbg lambang dari dirinya dgn putri Kang. Oleh Mpu Liem, dibuatkanlah 2 patung besar yg bisa ditarikan menyerupai bentuk manusia. Yg satu berwajah laki-laki dengan karakter wajah lokal berwarna hitam sbg lambang dari Jaya Kesunu. Satu lagi adalah perempuan berwajah putih dgn muka cemberut tapi memancarkan sinar keibuan sbg lambang putri Kang. Keduanya kemudian disebut Barong Landung (landung=tinggi). Sampai sekarang, karakter barong landung adalah sama, yg laki2 hitam dan yg perempuan putih. Ini adalah bukti bahwa pernah terjadi perkawinan antara raja Bali dgn putri China. Kalau sekarang ada orang Bali menikah dgn yg keturunan China itu wajar. Cuman saya lihat kok jarang ada yah….ga tau kenapa. Belum jodoh kali yah……

BACA SELANJUTNYA »»

kuningan hari ini

hari raya kuningan
seperti taun-taun yang lalu, hari raya kuningan ini kurayakan dengan ceria.. tapi hari ini kurayakan di banjar taensiat,, kita nglawang ratu gede,, sangat menarik...
tapi sayang fotonya lum jadi.. heheh....
seperti cerita barong landung,, yang mengisahkan perkawinan antar bangsa (bali cina),,, seperti juga hari ini,,, kita ngelawang bersama warga banjar taensiat, aku, tomo, dyas, bli kadek, bu mari, juaga barbara dan tomomi... oya bu mari dan tomomi dari jepang, barbara dari australia. seperti barong landung yang menceritakan rukunnya antar bangsa . hahaha kita keluarga internasional......

BACA SELANJUTNYA »»

tercinta


batapa kurindu...
ini kakek dan neneku,,,, ibuku lahir dari kedua orang ini, kusangat mencintai mereka,,, betapa kurindu...

BACA SELANJUTNYA »»

agenda 108


agenda 108
Awal tahun ini Kelompok Satu Kosong Delapan mencoba mencari kemungkinan-kemungkinan dalam proses kreatifnya.

Salah satu program yang sedang dijalankan adalah melakukan proses lintas disiplin keilmuan yang diadakan di Banjar Buungan desa Tiga Bangli, tepatnya di rumah Wayan Surana.

Proses kreatif yang melibatkan penulis/kajian antropologi (Jauhar "Joo" Mubarok, Wiwit "Kethel" Subekti), pemusik (Bintang Riyadi, Oris Otista), videomaker (Dadap, Yosep Maulana), perupa (Dedi Dwiyanto, Wayan Surana) serta performer (Giri Ratomo) ini direncanakan akan dipresentasikan untuk pertama kali pada akhir bulan Maret di banjar Buungan. Selain penulis, pemusik, videomaker, perupa dan performer juga diharapkan akan dapat melibatkan masyarakat desa yang tertarik untuk berperan aktif.

Diharapkan, dari riset yang mulai di lakukan bulan Januari 2008 ini akan menemukan berbagai kemungkinan bentuk pertunjukan.

Kita tunggu saja!

BACA SELANJUTNYA »»

Death of a Salesman


Kunci Rahasia Bernama ''Stocking''
Pementasan Teater 108 Minggu Wage, 28 Nopember 2004

KELOMPOK Teater Satu Kosong Delapan (108) pada Selasa (23/11) malam mementaskan "Matinya Pedagang Keliling" (Death of a Salesman) karya Arthur Miller di Wantilan Taman Budaya Denpasar. Pementasan yang dimulai pukul 19.30 wita itu cukup mendapat perhatian dari masyarakat -- kalangan siswa, mahasiswa, pelaku dan pecinta teater, serta para akademisi. Pementasan ini berdurasi empat jam.

Pementasan ini merupakan ajang "pemanasan" sebelum kelompok Teater 108 mementaskannya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Menurut Giri ratomo, sang sutradara, ini merupakan gladi resik sebelum dibawa ke acara "Panggung Realis Indonesia" yang akan diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 26 November-2 Desember 2004 mendatang.

Naskah "Matinya Pedagang Keliling" bertutur soal tragedi. Tragedi ini berawal ketika Biff Lowman menemui bapaknya (Willy Loman) yang sedang beristirahat di sebuah kamar hotel setelah seharian penuh bekerja menawarkan barang-barang dagangannya. Biff tak sabar untuk berkeluh kesah mengenai nilai ujian matematikanya yang tidak lulus. Biff yakin gurunya itu sangat hormat dan mau memenuhi permintaan Willy. Karena itu, Biff ingin agar Willy bersedia berbicara kepada guru matematikanya mengenai ujian perbaikan, sebab jika tidak, maka Biff tidak akan pernah menamatkan sekolah lanjutan kemudian bersekolah di sebuah universitas yang selama ini ia dambakan.

Kehadiran Biff yang tiba-tiba membuat Willy kalang kabut. Untung saja sebelum Biff membuka pintu kamar, Willy telah menyembunyikan perempuan simpanannya ke dalam kamar mandi. Namun sepandai apapun orang menyembunyikan kebusukan pada akhirnya akan tercium juga, begitupun rahasia "panas" yang disembunyikan oleh Willy terhadap Biff. Dengan perasaan malu, Willy mencoba membela diri dan mengatakan bahwa perempuan yang berada bersamanya itu hanyalah seorang pelanggan setia dan ia kebetulan sedang meminjam toilet di kamarnya karena toilet di rumah perempuan itu sedang direnovasi. Ketika mendengar kata-kata Willy, kontan saja perempuan itu merasa terhina dan diremehkan. Namun akhirnya, perempuan itu meminta Willy agar secepatnya memberikan hadiah stocking baru yang telah dijanjikannya. Willy pun segera mengabulkan permintaannya agar perempuan itu cepat-cepat pergi meninggalkan kamar hotel.

Apakah Biff percaya dengan semua keterangan Willy? Tentu saja tidak. Lihat saja bagaimana Willy begitu mudahnya memberikan beberapa buah stocking baru. Padahal ibunya (Linda Lowman) hanya memiliki satu stocking saja, itupun sudah beberapa kali sobek dan penuh tambalan di mana-mana. Padahal selama ini Linda begitu sabar, setia dan tidak banyak menuntut apa-apa dari Willy karena sebagai seorang istri dan ibu dari kedua anaknya membuatnya kasihan kepada Willy yang saban hari sibuk bekerja sebagai sales -- penjual barang-barang rumah tangga dari pintu ke pintu. Inikah balaan atas kesetiaan dan pengertian?

Semua yang didengar dan dilihat Biff terasa seperti bara api yang akan menghanguskan tubuhnya. Perasaan marah dan kecewa menghilangkan semua rasa hormat Biff kepada Willy. Padahal selama ini Biff selalu menganggap Willy sebagai sosok pria yang terpuji dan sangat dicintainya. Tetapi sekarang, Willy tak jauh beda seperti ular yang licik, jahat dan menjijikkan.

Begitulah perseteruan antara anak dan bapak ini dikemas dalam dialog-dialog yang panjang dan terjalin dengan rapi. Namun sampai Willy tewas, karena kecelakaan saat berusaha mengejar Ben (adik Willy yang sukses), sosok pria yang kerap muncul dalam benak Willy, rahasia "panas" ini tak pernah diungkapkan keduanya.

Naskah ini penuh dengan persoalan, ketegangan yang benar-benar bisa kita lihat dan rasakan sehari-hari di lingkungan kita. Misalnya tentang nasib Willy Lowman yang sudah bekerja selama 36 tahun sebagai salesman pada sebuah perusahaan. Dengan usia yang terus bertambah, mobilitas Willy agak sedikit berkurang sehingga grafik penjualannya makin menurun -- masalah inilah yang kemudian menyebabkan ia dicampakkan, di-PHK, oleh perusahaannya tanpa diberikan penghargaan atau bintang jasa atas pengabdiannya.

Selain pekerjaan, persoalan menyempitnya lahan hijau yang disebabkan oleh pembangunan yang membabi buta menjadi persoalan lain yang diangkat dalam naskah ini. Jika kita flashback 20 tahun ke belakang, mungkin Desa Kuta atau Ubud tidak sesesak ini. Masih banyak sawah dan hutan lindung yang bisa kita lihat. Namun sekarang, pembangunan yang membabi buta itu menjadikan mata kita terasa sakit sebab tak ada lagi warna hijau yang bisa kita lihat, tak ada lagi hawa sejuk dan sinar matahari yang biasanya menyiram hangat tubuh kita. Semua lahan sudah terkepung oleh tembok-tembok beton, sudah terpendar oleh bening kaca dan bayangan apa jadinya Kuta atau Ubud 20 tahun ke depan?

Persoalan-persoalan modernitas pembangunan sangat berkait dengan persoalan sumber daya manusia. Maka dalam naskah ini pula disinggung mengenai persoalan pendidikan sebagai cara untuk meningkatkan sumber daya itu. Pendidikan nonformal, terutama yang biasa terjadi dalam sebuah rumah tangga. Lebih banyak disorot dalam naskah ini seperti Biff (anak Willy), misalnya. Sejak kecil Biff diajarkan untuk selalu menuruti semua perintah orangtua, padahal belum tentu setiap perintah itu mengandung kebenaran. Biff sering diperintah oleh Willy untuk mencuri beberapa batang kayu di sebuah proyek bangunan atau ketika Biff mencuri sebuah bola di gudang sekolahnya. Willy tak pernah menasihati Biff. Dia terlalu memanjakan dan memenuhi semua permintaan anak-anaknya.

Rahasia pendidikan keluarga yang kurang beres ini terungkap ketika Biff dan Willy cekcok, saling menyalahkan dan saling menghujat, "Lihat apa yang telah engkau tanamkan dalam kepalaku, sering sekali aku mengambil barang-barang milik orang lain yang sesungguhnya tidak aku inginkan. Ayah telah berhasil mencetak aku menjadi pencuri!'' kata Biff berusaha menyudahi pertengkarannya dengan Willy sebab ia yakin Willy tak akan terima jika ia dikatakan salah dalam mendidik.

Begitulah Arthur Miller, lewat tokoh Biff secara keras mengkritik sistem pendidikan dalam sebuah keluarga yang notabene masih menganggap tabu atau masih menganggap bahwa seorang anak yang mengkritik orang tuanya adalah anak yang durhaka dan terkutuk. Bukankah seorang anak adalah "titipan" Tuhan? Seorang anak bukan boneka yang bisa dimiliki dan diapakan saja. Jadi, nilai kebebasan untuk memilih harus terus ditanamkan, maka ketika orangtua salah atau kurang benar maka si anak tidak merasa takut untuk menolak perintah orangtuanya dan orangtua pun jangan terlalu ringan untuk memvonis si anak sebagai anak yang tidak berbakti.

Merespons dan Menghidupkan
Percakapan-percakapan yang panjang antartokoh dalam naskah ini, selama pementasan, terasa tidak membosankan. Itulah kehebatan naskah ini. Kejenuhan itu menjadi tidak terasa karena metode dialektis antara pemain dengan penonton terjadi secara harmonis. Dialektis yang saya maksudkan adalah penggambaran secara nyata apa yang dibayangkan atau sedang digelisahkan oleh para tokohnya, terutama oleh Willy.

Penggambaran-penggambaran ini memang tidak terlalu vulgar terlihat, sebab tidak ada tokoh pengganti dalam adegan antara masa lalu dan masa kini. Semuanya diperankan oleh orang yang sama dan setting yang sama. Namun, lewat musik dan lighting, penonton bisa merasakan dan membedakannya. Pada pementasan ini, anggota Teater 108 telah menunjukkan sebuah tim kerja yang sehat dan harmonis -- semuanya saling mendukung dan saling berdialog untuk saling melengkapi walaupun suara musik sesekali memang terdengar terlalu keras dan nyaris menenggelamkan vokal para aktornya.

Lalu, bagaimana dengan para aktor? Tentu saja kekurangannya akan selalu ada, walaupun sangat kecil. Misalnya saja ketika adegan pertama di mana Biff dan Willy secara tidak sengaja mendengar percakapan kedua orangtuanya dari dalam kamar mereka. Dalam kamar itu (di atas tempat tidur) vokal Happy sering timbul-tenggelam -- terkadang jelas terdengar, terkadang tidak.

Konsistensi pada intonasi dan volume suara perlu lebih diperhatikan oleh Happy dan terkadang Happy kurang aktif menanggapi lawan bicaranya. Happy terlihat selalu menunggu, bengong tanpa bahasa tubuh sehingga terkesan masih menghapal dialog dan belum menikmati dialog tersebut. Sebenarnya hal tersebut bisa diingatkan dengan cara meminjam dialog lawan bicara atau bisa juga dengan lebih memaksimalkan gerakan-gerakan tubuh sehingga aktor yang lupa itu bisa teringat kembali dengan dialognya. Paman Ben, misalnya, beberapa kali terlihat mendahului, padahal adegan ilusi belum terjadi sehingga secara tidak langsung kehadirannya memecah konsentrasi penonton dan akibatnya lagi penonton kehilangan beberapa kata atau kalimat dari tokoh yang belum menyelesaikan dialognya. Bukankah para aktor dan sutradara memiliki maksud yang ingin disampaikan kepada penonton?

Selain dialog, eksplorasi dengan properti seperti tempat tidur (adegan Biff dan Happy) yang masih belum digunakan secara maksimal. Bisa saja Biff dan Happy melakukan dialog dengan berganti tempat duduk, berganti ranjang atau memain-mainkan bantal dan selimut yang ada di atas tempat tidur itu. Mungkin, benda-benda itu akan lebih hidup dan mampu menggambarkan sebuah makna bahasa (simbol) yang notabene bukan hanya berfungsi sebagai hiasan pelengkap saja.

endra efendi

BACA SELANJUTNYA »»

WAKTU ANTARA KAU DAN AKU


WAKTU ANTARA KAU DAN AKU
Mozaik Kehidupan Ala 108

Suasana hening dan gelap. Samar-samar temaram lampu memberi terang. Kemudian terlihat gunungan besar bergambar Semar dan Togog menancap di tengah panggung. Sedang di kanan-kirinya berjajar empat pemain yang dibalut kostum ketat sewarna kulit berpose bak wayang kulit. Suara mantra keluar dari mulut seorang pemain yang sedari awal berada di depan gunungan, kemudian dia menggerakkan gunungan tersebut laiknya sang dalang membuka sebuah pertunjukan wayang. Suara gemuruh gunungan dari seng memecah keheningan menandai jagad pewayangan telah dibuka dan dimulai.
Tidak berapa lama dua pemain laki-laki dan perempuan muncul dari balik gunungan dengan gerak teatrikal yang ritmis dan dinamis bak dua orang yang sedang dimabuk asmara. Berkejaran, merayu, memadu kasih, serta memintal asmara di taman kahyangan. Empat pemain yang sebelumnya berjajar mulai bergerak mengelilinginya. Suara riuh-gemuruh keluar dari mulut mereka mengiringi “persenggamaan” dua sejoli tersebut.
Persenggamaan yang tidak semestinya menyebabkan kelahiran yang salah. Empat orang pemain menari dengan memadukan gerak breakdance dan silat. Gerakan liar dari para pemain menyerupai gumpalan daging yang terus bergerak. Lamat-lamat terdengar Sri (Rika Puspasari) melantunkan kidung, “Singgah-singgah. Kulo singgah, tan suminggah. Durgokolo sumingkiro”. Sebuah kidung tolakbala yang biasa dilantunkan oleh masyarakat Jawa untuk mengusir demit dan danyang agar tidak mengganggu anak-anaknya.
Sri, sebagai sosok ibu dan perempuan Jawa dididik untuk sabar dan ngopeni. Begitu juga ketika memomong anak-anaknya Sri melandasi seluruh tindakannya dengan rasa asah, asih, dan asuh. Dan dia mendidik anak-anaknya sesuai dengan tradisinya. Tari- tarian tradisional dan etika Jawa diajarkan kepada anak-anak yang baru saja dia lahirkan. Dengan gerakan yang terbata anak-anak mengikutinya, namun itu hanya sebentar. Selanjutnya mereka lebih suka dengan gerakan yang tidak terarah dan penuh canda. Sri tahu zaman telah berubah sesuai ruh waktu yang membentuknya. Gunungan yang semula bergambar Semar dan Togog berganti dengan gambar kartun Sinchan dan Dora yang menandakan perubahan zaman. Suasana yang semula kental dengan warna tradisi tiba-tiba berubah dengan hingar bingar suasana dugem dan potongan-potongan tayangan televisi yang tidak asing bagi penonton. Cuplikan telenovela, berita kriminal, infotainment, iklan, ajang pencarian bakat, hingga permainan sepakbola disuguhkan secara satire.
Suasana “cerewet” yang tampak sebelumnya, berubah mencekam ketika suara “bunuh! Bakar!” keluar dari mulut para pemain. Satu per satu para pemain terlilit oleh pita kaset yang kusut. Suasana terlihat bertambah kacau saat angka-angka menghujani panggung lewat proyeksi LCD proyektor. Para pemain seakan menemukan permasalahan-permasalah sosial dari gulungan pita kaset kusut. Kata-kata ekstasi, korupsi, kolusi, nepotisme, illegal loging, aborsi, sek bebas, konsumerisme, kapal tenggelam, pesawat hilang, hingga lumpur lapindo muncrat dari mulut pemain.
Itulah bagian dari pementasan “Waktu Antara Kau Dan Aku” (disingkat menjadi WaKdA) oleh Kelompok SatuKosongDelapan (108) Denpasar di gedung The Oriental Kuta, Bali. Naskah ditulis serta disutradarai oleh Giri Ratomo, mantan ketua Teater Orok Universitas Udayana sekaligus pendiri Kelompok 108.
Malam itu (21/1) pementasan perdananya dimainkan oleh Rika Puspitasari, Moch Satrio Welang, Andika Ananda, Didit Dudu, Niko Wijanarko dan Haris Lawera disaksikan oleh 300-an penonton. Proyek produksi ke tujuh Kelompok 108 ini direncanakan akan dipentaskan di Solo dan Jogja pada Maret tahun ini.
Pertunjukan Semi –Teater Tari?
Alur cerita WaKdA terdiri lima bagian yang terjalin menjadi satu kesatuan laiknya rentetan kehidupan manusia dan alam semesta; dari tidak ada menjadi ada dan sebaliknya. Bermula dari Genesis (penciptaan alam semesta), Sri yang menjadi simbol bumi yang terkoyak dan dianiaya, kelahiran yang tidak sempurna, individu-individu sebagai gambaran anak-anak yang dibesarkan oleh televisi, hingga zaman plastik yang dimaksudkan sebagai karmaphala.
Pertunjukan yang berlangsung sekitar satu setengah jam tersebut banyak menyuguhkan gerak tubuh yang terinspirasi dari tari tradisi Jawa yang dipadukan dengan breakdance, modern dance dan silat. Kesan harmonis kian terasa dengan alunan musik yang diolah secara manis, meskipun dengan setting panggung yang minimalis.
Yang menarik, penyajian Waktu antara Kau dan Aku mengadopsi unsur pemanggungan wayang kulit, di mana pemain tetap berada di atas panggung sedari awal hingga akhir pementasan. Laiknya wayang, para pemain berjejer sebelum mereka memainkan tokoh yang mereka perankan dan masuk ke balik gunungan saat peran usai mereka mainkan.
Pada tiga bagian awal pertunjukan – Genesis, Sri dan Kelahiran – suasana tradisi masih terlihat sangat kental, baik gerak tari, musik maupun artistik. Sangat bertolak belakang dengan dua bagian akhir pertunjukan yakni bagian individu-individu generasi televisi dan zaman plastik. Penggunaan video art sebagai penguatan artistik yang menegaskan “kekinian” di zaman plastik yang serba palsu, pura-pura dan hedon, ditambah musik live midi, semakin membuat garis jarak “waktu” antara masa lalu dan masa kini.
Bahkan, barangkali Giri Ratomo menangkap keadaan sekarang dan masa depan saat angka-angka menggeser fungsi nama juga identitas orang-orang, sehingga nama-nama tokoh dalam WaKdA digantikan dengan angka-angka. Tidak dipungkiri bila di jaman teknologi seperti sekarang, angka-angka menjadi dominan peranannya. Orang-orang lebih cepat akrab saat saling hapal nomor handphone, untuk menarik rekening tabungan cukup memencet beberapa nomor kode rahasia, harga-harga barang di supermarket ditengarai dengan susunan angka-angka, bahkan kode-kode rahasia di pangkalan militer terdiri dari susunan angka-angka.
Namun sayang ada beberapa adegan yang cukup mengganjal. Misalnya pada adegan tokoh 621 (Niko) yang merepresentasikan budaya tradisional yang “diperkosa” oleh tokoh 69 (Andika) yang kebingungan akan jatidirinya. Menurut saya sebenarnya dengan gerak-tari saja sudah cukup terwakili, tanpa harus mengeluarkan kata-kata seperti orang yang sedang bercinta. Terlalu vulgar. Seolah Giri Ratomo takut penonton tidak mengerti dengan gerak-tari tersebut. Padahal Kelompok 108 nyata-nyata telah mengungkapkan bahwa pementasan ini adalah dance theatre show.
Terlebih pada adegan tayangan-tayangan televisi, kesan teater tari malah tidak ada. Mereka terlalu banyak memparodikannya dengan bahasa verbal. Dan pemain pun terkesan hanyut dan “bergenit-genit” dengan tingkah yang berlebihan setelah mendapat respon (tawa) dari para penonton. Mungkin karena kecewa dengan bahasa serta adegan (lokal) yang tidak dimengerti, beberapa penonton asing (bule) keluar dari gedung pertunjukan saat adegan parodi yang banyak mengumbar bahasa verbal – bahasa yang tidak universal – tengah berlangsung. Bahkan beberapa cuplikan televisi dengan gaya “bercanda Denpasar” saya kira juga tidak cukup meng-Indonesia dan semestinya dibenahi bila hendak ditampilkan di Solo dan Jogja.
Bagaimana pun juga semuanya dikembalikan lagi kepada sang sutradara yang tentunya telah memperhitungkan setiap detailnya untuk menghasilkan sebuah pertunjukan yang “menarik”.

Jauhar Mubarok, Pemerhati Teater Modern Tinggal di Denpasar

BACA SELANJUTNYA »»

teater


SATUKOSONGDELAPAN TEATER
A Trrible Beauty: on Being in Bali by Ray Harding
feat : Isna N, Wahyu A, Satrio Welang, Sagung, Mpol, Dyazz, Diah Utami, Indra p, Lia, Directed by: Giri Ratomo,Translated by: Kerensa Dewantoro

ubud writers & readers festival17:30pm-18:30pm - Lemak Restaurant Ubud - BALI
19:00-21:00 - The Yoga Barn Ubud - BALI
thursday 27 september 2007

BACA SELANJUTNYA »»